Dewasa ini para pelaku ekonomi dunia telah mengakui ekonomi Islam sebagai salah satu kekuatan yang memegang peranan penting dalam perputaran sumber modal. Momen paling menentukan bagi perkembangan ekonomi Islam adalah didirikannya Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 yang berpusat di Jeddah yang dirancang untuk “menyaingi” Bank Dunia (The World Bank), serta Asian Development Bank (ADB) yang dibentuk oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), salah satunya Indonesia sebagai pemegang saham dan Menteri Keuangan Indonesia yang ketika itu menjabat Dewan Gubernur. Berdirinya IDB memicu berdirinya bank-bank Islam di seluruh dunia, bahkan di kawasan Eropa. Di Timur Tengah, perbankan Islam bermunculan pada paruh kedua tahun 70-an, misalnya Dubai Islamic Bank (1975), Kuwait Finance House (1977), dan di Iran yang melakukan islamisasi perbankan secara nasional. Sementara di negara-negara “Islam” di kawasan Asia Tenggara, perkembangan perbankan syari’ah lebih baru dimulai era 80-an, ditandai dengan beroperasinya Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) pada tahun 1983 dan Bank Mu’amalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991.
Keberhasilan ekonomi Islam menjadi kekuatan baru ekonomi dunia, tidak dapat dilepaskan begitu saja dari intervensi pemerintah di negara-negara tempat tumbuh berkembangnya lembaga-lembaga perbankan dan keuangan syari’ah lainnya. Dalam hal ini, pemerintah dengan otoritas yang dimilikinya berperan dalam membuat instrument regulasi yang mengatur dan melindungi eksistensi lembaga-lembaga tersebut. Bagaimana dengan Indonesia?
Sebagaimana diketahui, perkembangan ekonomi Islam di Indonesia memiliki karakter yang khas dan membedakannya dengan fenomena yang umumnya terjadi di Negara lain. Kekhasan yang dimaksud adalah bahwa, jika perkembangan ekonomi di Negara lain biasanya diawali dari perkembangan pemikiran baru kemudian diikuti oleh terbentuknya lembaga-lembaga pendukungnya, cikal penggerak perkembangan ekonomi Islam di Indonesia dimulai dari terbentuknya Bank Mu’amalat pada tahun 1991, sebagai bank milik pemerintah yang beroperasi murni secara syar’i. Berdirinya BMI kemudian dibackup oleh keluarnya peraturan dalam bentuk Undang-Undang No. 7 tahun 1992, yang selanjutnya direvisi dengan Undang-Undang Perbankan No. 10 tahun 1998, dimana dalam peraturan tersebut disebutkan adanya kemungkinan sebuah bank yang beroperasi dengan sistem bagi hasil atau bank syariah. Peluang tersebut kemudain ditanggapo positif oleh pelaku pasar, terbukti dengan bermunculannya lembaga-lembaga perbankan syari’ah Menurut data dari DSN sampai dengan 13 Desember 2006 di Indonesia terdapat tiga bank umum syariah, dua belas unit usaha syariah BPD, dan sembilan puluh BPRS. Sampai dengan 13 Desember 2006 antara lain Bank Umum Syariah: Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, Bank Syariah Mega Indonesia; Unit Usaha Syariah BPD: Bank Jabar Syariah, Bank DKI Syariah, Bank Riau Syariah, Bank Sumut Syariah, BPD Aceh Syariah, BPD Kalsel Syariah, BPD NTB Syariah, Bank Sumsel Syariah, Bank Kalbar Syariah, BPD DIY Syariah, BPD Kaltim Syariah, Bank Nagari dan 90 BPR Syariah. (“Daftar Perbankan Syariah,” http://www.mui.or.id/DSN, akses 5 Januari 2007). Jumlah tersebut belum termasuk lembaga-lembaga keuangan mikro syari’ah lainnya semacam BMT yang jumlahnya tidak terhingga.
Meskipun demikian, harus diakui pula bahwa sebagai lembaga yang ”baru saja” tumbuh, geliat perbankan syari’ah di Indonesia (dan umumya di negara-negara lain yang menganut dual system bank), sangat rentan dan lemah manakala harus berhadapan dengan hegemoni kekuatan konvensional. Faktanya hingga saat ini menurut berbagai laporan, total aset perbankan syari’ah belum lagi mencapai 2 % dari total dana perbankan nasional yang beredar di pasar. Ini artinya besar kemungkinan bank syari’ah tergusur dari peta persaingan dengan perbankan konvensional.
Itulah sebabnya, instrumen regulasi yang dibutuhkan tidak cukup hanya menjamin eksistensi perbankan syari’ah. Lebih dari itu, diperlukan instrumen regulasi lain yang dapat mendukung percepatan perkembangannya agar dapat tercipta kompetisi yang seimbang antara perbankan syari’ah dengan perbankan konvensional. Sebab, perbankan apapun jenisnya adalah sebuah institusi yang tidak dapat berdiri sendiri dan lepas dari dukungan institusi lainnya. Beruntung, beberapa waktu yang lalu telah diterbitkan peraturan perundang-undangan tentang GCG dan Sukuk yang sangat diperlukan oleh perbankan sari’ah. GCG merupakan instrumen yang menjamin terciptanya persaingan sehat antar korporasi, termasuk di dalamnya korporasi perbankan.
Sumber : www.lintasberita.com
Keberhasilan ekonomi Islam menjadi kekuatan baru ekonomi dunia, tidak dapat dilepaskan begitu saja dari intervensi pemerintah di negara-negara tempat tumbuh berkembangnya lembaga-lembaga perbankan dan keuangan syari’ah lainnya. Dalam hal ini, pemerintah dengan otoritas yang dimilikinya berperan dalam membuat instrument regulasi yang mengatur dan melindungi eksistensi lembaga-lembaga tersebut. Bagaimana dengan Indonesia?
Sebagaimana diketahui, perkembangan ekonomi Islam di Indonesia memiliki karakter yang khas dan membedakannya dengan fenomena yang umumnya terjadi di Negara lain. Kekhasan yang dimaksud adalah bahwa, jika perkembangan ekonomi di Negara lain biasanya diawali dari perkembangan pemikiran baru kemudian diikuti oleh terbentuknya lembaga-lembaga pendukungnya, cikal penggerak perkembangan ekonomi Islam di Indonesia dimulai dari terbentuknya Bank Mu’amalat pada tahun 1991, sebagai bank milik pemerintah yang beroperasi murni secara syar’i. Berdirinya BMI kemudian dibackup oleh keluarnya peraturan dalam bentuk Undang-Undang No. 7 tahun 1992, yang selanjutnya direvisi dengan Undang-Undang Perbankan No. 10 tahun 1998, dimana dalam peraturan tersebut disebutkan adanya kemungkinan sebuah bank yang beroperasi dengan sistem bagi hasil atau bank syariah. Peluang tersebut kemudain ditanggapo positif oleh pelaku pasar, terbukti dengan bermunculannya lembaga-lembaga perbankan syari’ah Menurut data dari DSN sampai dengan 13 Desember 2006 di Indonesia terdapat tiga bank umum syariah, dua belas unit usaha syariah BPD, dan sembilan puluh BPRS. Sampai dengan 13 Desember 2006 antara lain Bank Umum Syariah: Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, Bank Syariah Mega Indonesia; Unit Usaha Syariah BPD: Bank Jabar Syariah, Bank DKI Syariah, Bank Riau Syariah, Bank Sumut Syariah, BPD Aceh Syariah, BPD Kalsel Syariah, BPD NTB Syariah, Bank Sumsel Syariah, Bank Kalbar Syariah, BPD DIY Syariah, BPD Kaltim Syariah, Bank Nagari dan 90 BPR Syariah. (“Daftar Perbankan Syariah,” http://www.mui.or.id/DSN, akses 5 Januari 2007). Jumlah tersebut belum termasuk lembaga-lembaga keuangan mikro syari’ah lainnya semacam BMT yang jumlahnya tidak terhingga.
Meskipun demikian, harus diakui pula bahwa sebagai lembaga yang ”baru saja” tumbuh, geliat perbankan syari’ah di Indonesia (dan umumya di negara-negara lain yang menganut dual system bank), sangat rentan dan lemah manakala harus berhadapan dengan hegemoni kekuatan konvensional. Faktanya hingga saat ini menurut berbagai laporan, total aset perbankan syari’ah belum lagi mencapai 2 % dari total dana perbankan nasional yang beredar di pasar. Ini artinya besar kemungkinan bank syari’ah tergusur dari peta persaingan dengan perbankan konvensional.
Itulah sebabnya, instrumen regulasi yang dibutuhkan tidak cukup hanya menjamin eksistensi perbankan syari’ah. Lebih dari itu, diperlukan instrumen regulasi lain yang dapat mendukung percepatan perkembangannya agar dapat tercipta kompetisi yang seimbang antara perbankan syari’ah dengan perbankan konvensional. Sebab, perbankan apapun jenisnya adalah sebuah institusi yang tidak dapat berdiri sendiri dan lepas dari dukungan institusi lainnya. Beruntung, beberapa waktu yang lalu telah diterbitkan peraturan perundang-undangan tentang GCG dan Sukuk yang sangat diperlukan oleh perbankan sari’ah. GCG merupakan instrumen yang menjamin terciptanya persaingan sehat antar korporasi, termasuk di dalamnya korporasi perbankan.
Sumber : www.lintasberita.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar