Hingar-bingar kendaraan berlalu-lalang memadati lalu lintas
ibukota menjelang malam pergantian tahun 2012, yang semakin gaduh oleh
nyaring serak klakson dan terompet gocengan yang memekakkan telinga,
saling bersahutan disepanjang ruas jalan yang kulalui. Belum lagi
ditambah meriahnya rutinitas akhir tahun yang ditutup oleh bunyi petasan
tak serempak yang menggema dari segala penjuru. Ledakan demi ledakkan
dan indahnya percikan kembang api di langit Jakarta yang separo mendung
itu membuatku teringat kembali akan sekeping kenangan manis masa SMA,
tentang surat cinta pertamaku dari seorang gadis yang pernah kudamba. Lho apa hubungannya petasan ama surat cinta? Yah, namanya juga manusia, kentut boleh sama nyaringnya, tapi hati dan pikiran siapalah yang bisa menerkanya?
Ngomongin tentang surat, sepertinya kemajuan teknologi kini telah menggeser budaya korespondensi yang dulu begitu populer. Segalanya kini telah tergantikan dengan berbagai hal yang serba praktis dan singkat. Dimulai dengan surat elektronik atau email, SMS, chatting dan lain sebagainya. Tidak hanya waktu pengiriman yang semakin singkat, tren singkat-menyingkat itu berimbas pada isi sebuah surat. Misalnya dulu untuk mengungkap perasaan kepada seseorang, minimal kita butuh 3 kata "Aku cinta padamu", tapi kini cukup hanya dengan 1 kata saja "ILU". Bahkan konon di tahun 2020 kelak akan muncul fenomena dimana setiap bayi memiliki nama yang hanya terdiri dari satu kata yang sangat singkat dan itupun dimulai dengan simbol "@", misalnya @hsprabowo gitu. Eh ada sms masuk... kubaca dulu ya! Ntar disambung lagi.
...
Maaf, sampai dimana tadi? Oh iya, tentang surat cinta. Aku punya kisah tentang surat cinta pertamaku yang entah kenapa semakin aku berusaha untuk melupakannya, rasanya kok makin sulit saja. Ada rindu terpendam yang kadang membuatku tertawa, sedih, haru, berdebar, senang, dan bangga, berkecamuk saling beradu. Begini, di suatu siang yang cerah datanglah Pak Pos mengantarkan sepucuk surat yang ditujukan kepadaku. Aku terkejut membaca nama pengirimnya. Mataku menatap girang, hatiku senang, pikiranku melayang, jauh menembus awang-awang. Cocok banget deh tuh ama lagunya Vina Panduwinata yang "Hari ini kugembira.. Pak Pos melayang di udara.." nah lho... Gimana lanjutannya?
Perekat surat perlahan kubuka, berusaha tak merusak amplopnya. Kubaca basmalah, kemudian takbir, tahmid, dan tak lupa syahadat. Kesan pertama: “Wow... tulisannya indah, seindah monotype corsiva”. Satu... dua... dan tiga... kumulai membaca...!! Kata demi kata, paragraf demi paragraf, kemudian diulang lagi dari awal. Tapi apa ternyata? Tak ada satu pun kata yang mengungkapkan rasa cinta, bahkan yang tesirat pun tak ada. Kuraba lagi amplop surat hingga ke bagian terdalam, berharap ada attachment nyelip disana. Dan sekali lagi ku harus kecewa. Ternyata yang kuterima bukanlah surat cinta, melainkan surat biasa layaknya surat dari seorang sahabat pena, ya sahabat pena yang memiliki pena datar, sedatar keyboard. Aku pun hanya bisa tertawa, tawa yang pahit dirasa (jiah, ketawa aja pahit gimana kalo cemberut).
Telah berlalu seminggu, tapi masih saja surat itu membuatku penasaran. Aku masih membacanya, entah untuk yang keberapa kali. Kuterawang, kubaca secara terbalik, secara silang, menghilangkan gugus konsonan, suku kata, mencoba berbagai enkripsi , dengan chipertext, transposisi maupun substitusi, dan berbagai teknik kriptografi yang kuketahui, berharap terselip teka-teki terselubung dalam suratnya. Hingga akhirnya menghasilkan suatu kesimpulan, kesimpulan yang membuatku kecewa sekaligus senang, senang karena dia sama sekali tak memberiku harapan semu. Ibarat ingus, kan lebih baik dibuang daripada membiarkannya tergantung di hidung. Ini menyadarkanku bahwa akulah yang terlalu banyak berharap lebih, menyadarkanku bahwa mengharapkan segala sesuatu secara berlebihan itu tak baik.
Aku pun mundur teratur, bukan kalah dan bukan pula menyerah. Tapi karena aku meyakini, bila seseorang telah menutup hatinya dariku, maka akan ada orang lain yang telah membukakan hatinya untukku (waktu itu kebetulan dapat gebetan baru). Terima kasih, setidaknya itu adalah surat terindah yang pernah kuterima (selain SK pengangkatan), bukan isinya yang membuatnya indah, melainkan berbagai proses mendebarkan yang telah kulalui, hingga berakhir pada kesimpulan yang kudapati, tentang pembelajaran diri dan tentang menemukan kriteria wanita sejati. Sederhana saja, wanita sejati itu selalu setia, selalu mengerti, selalu sabar, selalu percaya, selalu menunggu, selalu menarik, dan selalu saja sudah ada yang punya.
Sidang pembaca yang budiman, pengalaman mengajarkan kepada kita bahwa selalu berpikir positif itu menyenangkan, setidaknya bisa menentramkan, serta dapat mencegah berbagai penyakit hati. Sebagai penutup, ada kutipan yang kusuka dari A.A. Gym: “Jagalah hati, jangan kau nodai”. Asal tau saja, noda membandel itu lebih mudah dihilangkan dibanding dinodai karena bandel. Dan sebagai pesan singkat-menyingkat terakhirku, inilah satu kata untuk kalian, “Selamattahunbarusemogaditahuninitercapaiapayangkitainginkan”.
Ngomongin tentang surat, sepertinya kemajuan teknologi kini telah menggeser budaya korespondensi yang dulu begitu populer. Segalanya kini telah tergantikan dengan berbagai hal yang serba praktis dan singkat. Dimulai dengan surat elektronik atau email, SMS, chatting dan lain sebagainya. Tidak hanya waktu pengiriman yang semakin singkat, tren singkat-menyingkat itu berimbas pada isi sebuah surat. Misalnya dulu untuk mengungkap perasaan kepada seseorang, minimal kita butuh 3 kata "Aku cinta padamu", tapi kini cukup hanya dengan 1 kata saja "ILU". Bahkan konon di tahun 2020 kelak akan muncul fenomena dimana setiap bayi memiliki nama yang hanya terdiri dari satu kata yang sangat singkat dan itupun dimulai dengan simbol "@", misalnya @hsprabowo gitu. Eh ada sms masuk... kubaca dulu ya! Ntar disambung lagi.
...
Maaf, sampai dimana tadi? Oh iya, tentang surat cinta. Aku punya kisah tentang surat cinta pertamaku yang entah kenapa semakin aku berusaha untuk melupakannya, rasanya kok makin sulit saja. Ada rindu terpendam yang kadang membuatku tertawa, sedih, haru, berdebar, senang, dan bangga, berkecamuk saling beradu. Begini, di suatu siang yang cerah datanglah Pak Pos mengantarkan sepucuk surat yang ditujukan kepadaku. Aku terkejut membaca nama pengirimnya. Mataku menatap girang, hatiku senang, pikiranku melayang, jauh menembus awang-awang. Cocok banget deh tuh ama lagunya Vina Panduwinata yang "Hari ini kugembira.. Pak Pos melayang di udara.." nah lho... Gimana lanjutannya?
Perekat surat perlahan kubuka, berusaha tak merusak amplopnya. Kubaca basmalah, kemudian takbir, tahmid, dan tak lupa syahadat. Kesan pertama: “Wow... tulisannya indah, seindah monotype corsiva”. Satu... dua... dan tiga... kumulai membaca...!! Kata demi kata, paragraf demi paragraf, kemudian diulang lagi dari awal. Tapi apa ternyata? Tak ada satu pun kata yang mengungkapkan rasa cinta, bahkan yang tesirat pun tak ada. Kuraba lagi amplop surat hingga ke bagian terdalam, berharap ada attachment nyelip disana. Dan sekali lagi ku harus kecewa. Ternyata yang kuterima bukanlah surat cinta, melainkan surat biasa layaknya surat dari seorang sahabat pena, ya sahabat pena yang memiliki pena datar, sedatar keyboard. Aku pun hanya bisa tertawa, tawa yang pahit dirasa (jiah, ketawa aja pahit gimana kalo cemberut).
Telah berlalu seminggu, tapi masih saja surat itu membuatku penasaran. Aku masih membacanya, entah untuk yang keberapa kali. Kuterawang, kubaca secara terbalik, secara silang, menghilangkan gugus konsonan, suku kata, mencoba berbagai enkripsi , dengan chipertext, transposisi maupun substitusi, dan berbagai teknik kriptografi yang kuketahui, berharap terselip teka-teki terselubung dalam suratnya. Hingga akhirnya menghasilkan suatu kesimpulan, kesimpulan yang membuatku kecewa sekaligus senang, senang karena dia sama sekali tak memberiku harapan semu. Ibarat ingus, kan lebih baik dibuang daripada membiarkannya tergantung di hidung. Ini menyadarkanku bahwa akulah yang terlalu banyak berharap lebih, menyadarkanku bahwa mengharapkan segala sesuatu secara berlebihan itu tak baik.
Aku pun mundur teratur, bukan kalah dan bukan pula menyerah. Tapi karena aku meyakini, bila seseorang telah menutup hatinya dariku, maka akan ada orang lain yang telah membukakan hatinya untukku (waktu itu kebetulan dapat gebetan baru). Terima kasih, setidaknya itu adalah surat terindah yang pernah kuterima (selain SK pengangkatan), bukan isinya yang membuatnya indah, melainkan berbagai proses mendebarkan yang telah kulalui, hingga berakhir pada kesimpulan yang kudapati, tentang pembelajaran diri dan tentang menemukan kriteria wanita sejati. Sederhana saja, wanita sejati itu selalu setia, selalu mengerti, selalu sabar, selalu percaya, selalu menunggu, selalu menarik, dan selalu saja sudah ada yang punya.
Sidang pembaca yang budiman, pengalaman mengajarkan kepada kita bahwa selalu berpikir positif itu menyenangkan, setidaknya bisa menentramkan, serta dapat mencegah berbagai penyakit hati. Sebagai penutup, ada kutipan yang kusuka dari A.A. Gym: “Jagalah hati, jangan kau nodai”. Asal tau saja, noda membandel itu lebih mudah dihilangkan dibanding dinodai karena bandel. Dan sebagai pesan singkat-menyingkat terakhirku, inilah satu kata untuk kalian, “Selamattahunbarusemogaditahuninitercapaiapayangkitainginkan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar