Lelaki Itu Ayahku
Tiba-tiba berlinang air mataku, mengalir melalui sudut, membasahi pipi setelah tanggul pertahanan pelupukku tak kuasa lagi membendung genangan luh yang hendak tercurah. Cengeng? Ya, aku memang cengeng! Hati kecilku tak terima setiap melihat perlakuan tidak manusiawi seorang anak terhadap orang tuanya dan atau sebaliknya. Aku tak tau siapa yang pantas disalahkan, tapi mungkin aku tau apa yang harus kulakukan ketika berada diposisinya. Semua kemungkinan pun menjalar menjadikan pertanyaan-pertanyaan yang menunggu tuk dijawab.
Tak kuasa hatiku berkata "Tidak Peduli", ketika ketenangan soreku terusik dengan sebuah berita di salah satu channel televisi swasta, inilah titik awal sebuah perenungan yang kutuangkan dalam suatu tulisan (sebelumnya maaf bila tulisanku jelek kayak cakar ayam, maklum nulisnya sambil cegukan), bukan tentang kita, tapi hanya aku dan dia. Isi berita itu tentang manusia yang menzalimi manusia lainnya, dendam seorang anak yang tega membunuh ayah kandungnya. Kenapa harus ada saling bunuh ketika kita bisa saling mencinta? Apakah tidak ada cara lain untuk melepas derita selain menghabisi nyawanya?
Mungkin kita pernah berpikir bahwa ayah kita terlalu mengatur apa yang harus kita lakukan, padahal kita sendirilah yang menjalani hidup. Tapi pernahkah kita berpikir, seandainya kita menjadi ayah, apakah kita akan mendiamkan begitu saja kesalahan anaknya? Ayah yang baik, tidak akan selalu memberikan apa yang diinginkan anaknya, tapi lebih pada apa yang dibutuhkan anaknya. Dia akan membimbing langkah kita, karena dia ingin kelak kita bisa berjalan sendiri tanpa harus dibimbing lagi, ayahlah orang dibalik layar itu. Apakah kita bisa menjadi seorang ayah yang lebih baik dari ayah kita?
Suatu hari dalam perjalanan pulang, aku berjumpa seorang siswi SMA serius sekali menggoblok-goblokkan ayahnya yang waktu itu menjemput kepulangannya. Bukannya aku bermaksud menguping, tapi suara anak itu terlalu keras untuk tidak terdengar. Entah apa salahnya, si anak mengatakan dia kolot. Seakan dia malu dengan sikap ayahnya, melebihi malu seorang anak yang lahir tanpa ayah. Tidakkah dia berpikir perasaan ayahnya atas sikapnya? Apakah aku akan menghadapi hal serupa oleh anak gadisku kelak? Lalu aku dibunuh anak lelakiku karena telah membuat malu kakaknya ditempat umum?
Untuk apa kita malu dengan kekurangan, padahal dari kekurangan tersebut kita bisa belajar menyempurnakan. Mungkin aku menganggap ayahku gaptek, dan itu berarti aku akan mengalami kesulitan mengajarinya Facebook-an. Jangankan main Facebook, bisa menggunakan ponsel aja baru beberapa tahun belakangan ini. Ketika masih newbie, ayahku sering meneleponku sekedar menanyakan sesuatu yang jawabanku hanya "Ya" atau "Tidak". Saat itu kubilang "Lain kali SMS aja biar lebih hemat pulsa". Tahukah kalian? SMS yang harusnya dikirim ke aku, dikirimkan pula keseluruh kontak yang ada. Alhasil, ditariklah sebuah kesimpulan bahwa tarif SMS lebih mahal ketimbang nelpon.
Apakah peristiwa itu lantas membuatku layak menyebutnya gaptek? Tidak kawan. Mungkin ayahku ketinggalan teknologi, tapi soal pengalaman hidup, masalah, dan cara mengatasinya, ayahku lebih tau dan lebih bijak dalam bersikap. Untuk itulah ayahku membelikanku ponsel, biar aku tidak gaptek sepertinya. Itulah salah satu bukti bahwa ayahku lebih mementingkan anaknya ketimbang dirinya sendiri. Dan itulah kelebihan dari ayahku dibalik kekurangannya.
Mungkin kita akan menganggap ayah kita pengertian, ketika apa yang kita inginkan terpenuhi. Tapi kita tidak pernah peduli atas usahanya dalam memenuhi keinginan kita. Dulu aku menyesali kenapa tidak terlahir dari keluarga berada, yang segalanya difasilitasi dan bisa dinikmati dirumah. Kini aku malah bersyukur betapa beruntungnya hidupku karena terlahir dari keluarga sederhana. Segala keinginanku yang tidak bisa kutemukan di rumah, memacuku untuk menemukannya sendiri diluar rumah dengan keringatku oleh tanganku sendiri. Alam mengajariku untuk mandiri.
Mungkin ayah kita akan memarahi kita habis-habisan ketika memergoki kita merokok atau membolos saat sekolah. Saat itu kita akan sangat membencinya karena kita tau bahwa ayah kita sendiri seorang perokok berat dan pembolos ulung ketika dia masih muda dulu. Dia bukan munafik kawan, dia cuma ingin agar kita tidak melakukan kesalahan sepertinya yang merugikan masa depan. Seorang guru tidak menginginkan anaknya cukup puas jadi guru, minimal dosen. Karyawan tidak menginginkan anaknya jadi karyawan, minimal pegawai negeri. Begitu pula pencuri, minimal anaknya gembong mafia, halah... setidaknya jadi pengacara, biar bisa membela ayahnya di meja hijau. :D
Mungkin ayah kita tak pernah memuji ketika kita berhasil mencapai sesuatu. Janganlah kita lalu berasumsi bahwa dia tidak peduli. Diluar sana, ayah kita menceritakan keberhasilan anaknya pada teman-temannya. Dengan bangganya dia menceritakan anaknya yang bisa kuliah dengan beasiswa, mendampingi kita diwisuda, atau sekedar memamerkan sepatu barunya yang dia peroleh dari pemberian anaknya. Walaupun sekilas dan hanya sekejap atau bahkan tanpa suara sekalipun, senyum puas seorang ayah mampu meluruhkan lelahnya kerja keras usaha kita setahun yang lalu dan satu tahun berikutnya untuk bekal semangat ketika jenuh merasuk.
Mungkin kita pernah berpikir bisakah kita menjadi ayah yang sukses? Lalu apa barometer kesuksesan itu? Kita tidak akan bisa menilai sukses atau tidaknya ketika kita menjadi ayah selama kita masih hidup. Satu-satunya cara untuk mengetahuinya ya harus mati dulu, kalau disana anak-anak kita tidak memberatkan azab akhirat dari tugas ayah yang tidak dilaksanakan, berarti anda telah sukses, dan insyaallah pintu Surga terbuka lebar. Sebagai calon ayah, kita harus tahu apa kewajiban ayah dan belajar berusaha untuk menjadi ayah yang terbaik bagi anak-anaknya mulai dari sekarang. Bagi wanita, setidaknya bisa menentukan pria mana yang layak menjadi suami dan calon ayah bagi anak-anaknya kelak. Meminjam istilah dari seorang teman, "Bukan sekedar pria apa adanya, apalagi ada apanya".
Dan pertanyaan-pertanyaan yang selalu terngiang dikepalaku, merasuk mengendalikan alam bawah sadarku, sudahkah ayahku bangga padaku sebagai anaknya? Apakah aku masih menjadi anaknya ketika dia membutuhkanku diusia senjanya? Dan apakah aku orang yang diharapkan menemaninya ketika menghadapi sakaratul maut? Apakah sudah menjadi anak shaleh yang selalu mendo'akan orang tuanya, seperti yang selalu dia nasihatkan menjelang tidurku dulu?
Suatu hari dalam perjalanan pulang, aku berjumpa seorang siswi SMA serius sekali menggoblok-goblokkan ayahnya yang waktu itu menjemput kepulangannya. Bukannya aku bermaksud menguping, tapi suara anak itu terlalu keras untuk tidak terdengar. Entah apa salahnya, si anak mengatakan dia kolot. Seakan dia malu dengan sikap ayahnya, melebihi malu seorang anak yang lahir tanpa ayah. Tidakkah dia berpikir perasaan ayahnya atas sikapnya? Apakah aku akan menghadapi hal serupa oleh anak gadisku kelak? Lalu aku dibunuh anak lelakiku karena telah membuat malu kakaknya ditempat umum?
Untuk apa kita malu dengan kekurangan, padahal dari kekurangan tersebut kita bisa belajar menyempurnakan. Mungkin aku menganggap ayahku gaptek, dan itu berarti aku akan mengalami kesulitan mengajarinya Facebook-an. Jangankan main Facebook, bisa menggunakan ponsel aja baru beberapa tahun belakangan ini. Ketika masih newbie, ayahku sering meneleponku sekedar menanyakan sesuatu yang jawabanku hanya "Ya" atau "Tidak". Saat itu kubilang "Lain kali SMS aja biar lebih hemat pulsa". Tahukah kalian? SMS yang harusnya dikirim ke aku, dikirimkan pula keseluruh kontak yang ada. Alhasil, ditariklah sebuah kesimpulan bahwa tarif SMS lebih mahal ketimbang nelpon.
Apakah peristiwa itu lantas membuatku layak menyebutnya gaptek? Tidak kawan. Mungkin ayahku ketinggalan teknologi, tapi soal pengalaman hidup, masalah, dan cara mengatasinya, ayahku lebih tau dan lebih bijak dalam bersikap. Untuk itulah ayahku membelikanku ponsel, biar aku tidak gaptek sepertinya. Itulah salah satu bukti bahwa ayahku lebih mementingkan anaknya ketimbang dirinya sendiri. Dan itulah kelebihan dari ayahku dibalik kekurangannya.
Mungkin kita akan menganggap ayah kita pengertian, ketika apa yang kita inginkan terpenuhi. Tapi kita tidak pernah peduli atas usahanya dalam memenuhi keinginan kita. Dulu aku menyesali kenapa tidak terlahir dari keluarga berada, yang segalanya difasilitasi dan bisa dinikmati dirumah. Kini aku malah bersyukur betapa beruntungnya hidupku karena terlahir dari keluarga sederhana. Segala keinginanku yang tidak bisa kutemukan di rumah, memacuku untuk menemukannya sendiri diluar rumah dengan keringatku oleh tanganku sendiri. Alam mengajariku untuk mandiri.
Mungkin ayah kita akan memarahi kita habis-habisan ketika memergoki kita merokok atau membolos saat sekolah. Saat itu kita akan sangat membencinya karena kita tau bahwa ayah kita sendiri seorang perokok berat dan pembolos ulung ketika dia masih muda dulu. Dia bukan munafik kawan, dia cuma ingin agar kita tidak melakukan kesalahan sepertinya yang merugikan masa depan. Seorang guru tidak menginginkan anaknya cukup puas jadi guru, minimal dosen. Karyawan tidak menginginkan anaknya jadi karyawan, minimal pegawai negeri. Begitu pula pencuri, minimal anaknya gembong mafia, halah... setidaknya jadi pengacara, biar bisa membela ayahnya di meja hijau. :D
Mungkin ayah kita tak pernah memuji ketika kita berhasil mencapai sesuatu. Janganlah kita lalu berasumsi bahwa dia tidak peduli. Diluar sana, ayah kita menceritakan keberhasilan anaknya pada teman-temannya. Dengan bangganya dia menceritakan anaknya yang bisa kuliah dengan beasiswa, mendampingi kita diwisuda, atau sekedar memamerkan sepatu barunya yang dia peroleh dari pemberian anaknya. Walaupun sekilas dan hanya sekejap atau bahkan tanpa suara sekalipun, senyum puas seorang ayah mampu meluruhkan lelahnya kerja keras usaha kita setahun yang lalu dan satu tahun berikutnya untuk bekal semangat ketika jenuh merasuk.
Mungkin kita pernah berpikir bisakah kita menjadi ayah yang sukses? Lalu apa barometer kesuksesan itu? Kita tidak akan bisa menilai sukses atau tidaknya ketika kita menjadi ayah selama kita masih hidup. Satu-satunya cara untuk mengetahuinya ya harus mati dulu, kalau disana anak-anak kita tidak memberatkan azab akhirat dari tugas ayah yang tidak dilaksanakan, berarti anda telah sukses, dan insyaallah pintu Surga terbuka lebar. Sebagai calon ayah, kita harus tahu apa kewajiban ayah dan belajar berusaha untuk menjadi ayah yang terbaik bagi anak-anaknya mulai dari sekarang. Bagi wanita, setidaknya bisa menentukan pria mana yang layak menjadi suami dan calon ayah bagi anak-anaknya kelak. Meminjam istilah dari seorang teman, "Bukan sekedar pria apa adanya, apalagi ada apanya".
Dan pertanyaan-pertanyaan yang selalu terngiang dikepalaku, merasuk mengendalikan alam bawah sadarku, sudahkah ayahku bangga padaku sebagai anaknya? Apakah aku masih menjadi anaknya ketika dia membutuhkanku diusia senjanya? Dan apakah aku orang yang diharapkan menemaninya ketika menghadapi sakaratul maut? Apakah sudah menjadi anak shaleh yang selalu mendo'akan orang tuanya, seperti yang selalu dia nasihatkan menjelang tidurku dulu?
0 Response to "Lelaki Itu Ayahku"
Posting Komentar