Kutemukan Diriku Dalam Barbershop
Seperti hari-hari sebelumnya dimana aku dibuat geli sendiri oleh rambutku yang mulai memanjang, tak lain dan tak bukan sebagai solusi yang efektif aku pergi mencukur rambutku. Dengan bensin seliter (selalu seliter, tak kurang tak lebih) motorku kustarter hendak kubawa muter-muter, menyusuri jalanan dengan kecepatan 60 km/jam dengan destination barbershop langgananku. Sebuah tempat cukur dengan motto "Rapi, Bersih, Sehat, dan Nyaman" yang menawarkan inovasi berupa service yang nyaman, ruangan berAC, di ruang tunggu kita bisa membaca tipi maupun menonton majalah yang telah disediakan panitia. Karyawannya pun merupakan orang-orang terpilih yang berpengalaman lebih dari 5 tahun (ngga jelas pengalaman dalam bidang apa). Selain itu, hal yang membuatnya berbeda dengan tukang cukur pinggir jalan yaitu sisir sekali pakai, pisau cukur sekali pakai, dan handuk hangat yang juga sekali pakai. Konon katanya, penggunaan alat-alat cukur yang tidak higienis, membuka peluang tertularnya virus HIV, H5N1, H1N1, W32, Trojan, maupun Spyware.
Sebelum masuk ruang penjagalan rambut, kutengok terlebih dahulu, apakah si 'dia' sedang bertugas atau tidak. Kulihat dari luar dia sedang mencukur rambut om-om berkepala botak. Heran, tuh kepala om-om luas bidang yang ditumbuhi rambut cuma 6 x 7 inch pake dicukur segala. Daripada menunggu di dalam, lebih baik aku menunggu diluar sambil menikmati ice juz alpukat hangat. Sepuluh menit berlalu, kemudian kutengok lagi arena pemangkasan. Masya Allah… si botak itu pake minta dicukurin kumisnya… kumis kayak Hitler gitu mau dibikin apa lagi sih?
Sebenarnya masih ada tukang cukur yang lain, tapi entah mengapa aku lebih nyaman bila yang mencukurku adalah si mba yang sedang mempermak kumis Charlie Chaplin yang berperan jadi orang botak itu. Apa aku cemburu? Bukan sobat, aku bukan cemburu… lagian dia bukanlah tipeku. Memang dia cantik, tapi masih kalah cantik ama anak si pemilik barbershop. Memang jarinya lentik gemulai, tapi masih kalah lembut ama belaian ibuku. Lalu apa? Yup, bukan cantik, bukan pula jari yang lentik, dan juga bukan belaiannya yang menggelitik, yang selalu membuatku kepingin dicukur sama dia lagi, lagi, dan lagi… tapi suaranya yang lembut itulah yang menjadi daya tariknya. Sangat lembut bahkan terlalu lembut sehingga nyaris tak terdengar. Itulah yang menjadi alasanku untuk mendekatkan wajahku pada posisi lima centi dekat bibirnya, berpura-pura seakan aku ingin mendengar suaranya lebih jelas. Dan apabila dia mendesah… Ampun DJ… udara lembut menggelitik indra pendengaranku. Belum lagi aroma khas yag keluar dari bibir mungilnya itu… bukanlah aroma rokok, alkohol, maupun sejenisnya kawan. Bukan pula aroma segar seperti iklan permen mint atau obat kumur di tipi, aroma itu begitu khas… yaitu aroma daun sirih.
Kulihat si botak itu keluar dengan kepala barunya yang mengkilap cling.. cling.. cling.. ditimpa sinar mentari. Akupun mulai masuk, "Hai mba… biasa cukur…". "Maaf mas, saya mau sholat Ashar dulu, cukurnya sama mas Hendra aja ya..". Yah, aku kecele… mau ngga mau aku terpaksa merelakan rambut indahku dijamah oleh mas-mas yang sepertinya masih karyawan baru itu. Dengan malas-malasan aku duduk dikursi, kemudian mas-mas itu memakaikan jubah khas para tukang pangkas rambut membalut tubuhku kecuali leher keatas. Layar terbentang, lampu-lampu dimatikan, suara lagu pengantar terdengar keras mengalun dari speaker-speaker yang tertempel di dinding, kemudian sebuah sinar dari proyektor jatuh menimpa layar, mencitrakan sosok-sosok manusia… halah itu mah keadaan di bioskop… sori pren, mungkin aku terlalu berimprovisasi…
Setelah basa-basi yang menurutku sangat basi si mas tukang cukur itu bertanya "Mau di cukur model apa bang?". Karena suasana hatiku yang bad mood, aku menjawab sekenanya, lebih tepatnya balik bertanya "Bagusnya di model apa?". Tak kalah sewot dia menjawab "Dipendekin aja ya… soalnya rambut abang tuh udah jelek dari sononya, mau dimodel apapun kayaknya juga mentok". Brengsek… tukang cukur itu bikin aku gemes pingin ngegorok lehernya pake gunting kuku, dan kemudian aku menjawab "Ya udah… dibikin berantakan aja deh". Dengan gerakan yang tak terduga, mas-mas itu menyontol kepalaku seraya berkata "Ah… abang bisa aja becandanya" . Sialan lu, elu kira kepala gue sansak? Untung aja dia cowo, bukan siluman pertengahan, lagian posturku kalah tegap dibanding dia. Makanya aku cuma diam saja, sambil tersenyum kecut.
Tak terlalu mengecewakan, hasil cukurannya sedikit lebih bagus ketimbang si mba langganan cukurku (sedikit lebih bagus berarti banyak jeleknya). Tapi tak apalah, akupun tak mengingkari kalau rambutku memang sedikit jelek dari sananya. Sebenarnya sih rambutku lumayan bagus, mungkin kalau agak panjang, sedikit mirip Ridho Rhoma (sedikit). Padahal, kalau aku boleh jujur, penampilan keseluruhanku lebih baik dari Nicholas Saputra. Yang baca dilarang protes…
Yup, itulah aku. Pria yang memiliki gaya potongan rambut yang tak pernah berubah dari dulu. Tak pernah mengikuti mode, bahkan dalam berpakaian pun paling banter cuma t-shirt sama celana jeans. Aku lebih suka berpakaian sederhana, simple, enak dipakai, enggak ribet, dan sedikit casual, ingat… sedikit. Setidaknya aku punya pendirian dalam hal berpenampilan, bukan budak mode yang plin-plan dan tergantung sama musim, majalah, maupun sinetron. Kalau ngeliat temenku yang pake celana model pensil, yang selalu terbersit dalam benak 'pasti burungnya di dalam tuh kehabisan oksigen'. Yang paling bikin ilfil tuh kalau ngeliat orang yang pakai celana cuma nyangkut di pinggul. Ampun deh… mana dalemannya buluk lagi, yang lebih fatal kalau si pemakai itu cewe. Bukannya aku munafik, aku sih seneng-seneng aja dapat tontonan gratis, mending yang ngeliat aku yang notabene masih bisa nahan nafsu, kalau enggak… udah diperkosa bolak-balik sama ahlinya tuh. Aku yakin, tuh orang pasti sudah kehilangan urat kemaluan (maksudnya tak punya malu.red).
Mungkin banyak (ini baru mungkin lho, kayaknya sih enggak) yang mengatakan aku norak, kolot, kuper, de.. el.. el.. terserahlah. Tapi bagiku, ini adalah prinsip bung! Banyak orang yang saling meneriakkan serta mempertahankan prinsip yang dianutnya, tapi hidup dengan prinsip yang dianut itu susah mba, mas. Sebagian orang merasa minder dengan penampilannya, mereka minder bila terlihat tidak cantik atau seksi. Percayalah, kalau ada orang yang mencintaimu karna rupamu yang menawan, maka cinta itu akan luntur seiring lunturnya kecantikan atau ketampananmu. Berlian walaupun habis jatuh ke comberan, harganya masih tetap mahal non. Aku jadi sedih melihat mereka yang malu akan keadaannya, tapi tenang aja hal itu tidak pernah terjadi denganku, mungkin karena sifatku yang over pede… bahkan ada juga orang yang iri denganku, seperti biasa… apa yang menurutku adalah kekuranganku, tapi bagi orang lain itu adalah kelebihan buatnya dan itu cita-citanyai. Be your self…
Sebelum masuk ruang penjagalan rambut, kutengok terlebih dahulu, apakah si 'dia' sedang bertugas atau tidak. Kulihat dari luar dia sedang mencukur rambut om-om berkepala botak. Heran, tuh kepala om-om luas bidang yang ditumbuhi rambut cuma 6 x 7 inch pake dicukur segala. Daripada menunggu di dalam, lebih baik aku menunggu diluar sambil menikmati ice juz alpukat hangat. Sepuluh menit berlalu, kemudian kutengok lagi arena pemangkasan. Masya Allah… si botak itu pake minta dicukurin kumisnya… kumis kayak Hitler gitu mau dibikin apa lagi sih?
Sebenarnya masih ada tukang cukur yang lain, tapi entah mengapa aku lebih nyaman bila yang mencukurku adalah si mba yang sedang mempermak kumis Charlie Chaplin yang berperan jadi orang botak itu. Apa aku cemburu? Bukan sobat, aku bukan cemburu… lagian dia bukanlah tipeku. Memang dia cantik, tapi masih kalah cantik ama anak si pemilik barbershop. Memang jarinya lentik gemulai, tapi masih kalah lembut ama belaian ibuku. Lalu apa? Yup, bukan cantik, bukan pula jari yang lentik, dan juga bukan belaiannya yang menggelitik, yang selalu membuatku kepingin dicukur sama dia lagi, lagi, dan lagi… tapi suaranya yang lembut itulah yang menjadi daya tariknya. Sangat lembut bahkan terlalu lembut sehingga nyaris tak terdengar. Itulah yang menjadi alasanku untuk mendekatkan wajahku pada posisi lima centi dekat bibirnya, berpura-pura seakan aku ingin mendengar suaranya lebih jelas. Dan apabila dia mendesah… Ampun DJ… udara lembut menggelitik indra pendengaranku. Belum lagi aroma khas yag keluar dari bibir mungilnya itu… bukanlah aroma rokok, alkohol, maupun sejenisnya kawan. Bukan pula aroma segar seperti iklan permen mint atau obat kumur di tipi, aroma itu begitu khas… yaitu aroma daun sirih.
Kulihat si botak itu keluar dengan kepala barunya yang mengkilap cling.. cling.. cling.. ditimpa sinar mentari. Akupun mulai masuk, "Hai mba… biasa cukur…". "Maaf mas, saya mau sholat Ashar dulu, cukurnya sama mas Hendra aja ya..". Yah, aku kecele… mau ngga mau aku terpaksa merelakan rambut indahku dijamah oleh mas-mas yang sepertinya masih karyawan baru itu. Dengan malas-malasan aku duduk dikursi, kemudian mas-mas itu memakaikan jubah khas para tukang pangkas rambut membalut tubuhku kecuali leher keatas. Layar terbentang, lampu-lampu dimatikan, suara lagu pengantar terdengar keras mengalun dari speaker-speaker yang tertempel di dinding, kemudian sebuah sinar dari proyektor jatuh menimpa layar, mencitrakan sosok-sosok manusia… halah itu mah keadaan di bioskop… sori pren, mungkin aku terlalu berimprovisasi…
Setelah basa-basi yang menurutku sangat basi si mas tukang cukur itu bertanya "Mau di cukur model apa bang?". Karena suasana hatiku yang bad mood, aku menjawab sekenanya, lebih tepatnya balik bertanya "Bagusnya di model apa?". Tak kalah sewot dia menjawab "Dipendekin aja ya… soalnya rambut abang tuh udah jelek dari sononya, mau dimodel apapun kayaknya juga mentok". Brengsek… tukang cukur itu bikin aku gemes pingin ngegorok lehernya pake gunting kuku, dan kemudian aku menjawab "Ya udah… dibikin berantakan aja deh". Dengan gerakan yang tak terduga, mas-mas itu menyontol kepalaku seraya berkata "Ah… abang bisa aja becandanya" . Sialan lu, elu kira kepala gue sansak? Untung aja dia cowo, bukan siluman pertengahan, lagian posturku kalah tegap dibanding dia. Makanya aku cuma diam saja, sambil tersenyum kecut.
Tak terlalu mengecewakan, hasil cukurannya sedikit lebih bagus ketimbang si mba langganan cukurku (sedikit lebih bagus berarti banyak jeleknya). Tapi tak apalah, akupun tak mengingkari kalau rambutku memang sedikit jelek dari sananya. Sebenarnya sih rambutku lumayan bagus, mungkin kalau agak panjang, sedikit mirip Ridho Rhoma (sedikit). Padahal, kalau aku boleh jujur, penampilan keseluruhanku lebih baik dari Nicholas Saputra. Yang baca dilarang protes…
Yup, itulah aku. Pria yang memiliki gaya potongan rambut yang tak pernah berubah dari dulu. Tak pernah mengikuti mode, bahkan dalam berpakaian pun paling banter cuma t-shirt sama celana jeans. Aku lebih suka berpakaian sederhana, simple, enak dipakai, enggak ribet, dan sedikit casual, ingat… sedikit. Setidaknya aku punya pendirian dalam hal berpenampilan, bukan budak mode yang plin-plan dan tergantung sama musim, majalah, maupun sinetron. Kalau ngeliat temenku yang pake celana model pensil, yang selalu terbersit dalam benak 'pasti burungnya di dalam tuh kehabisan oksigen'. Yang paling bikin ilfil tuh kalau ngeliat orang yang pakai celana cuma nyangkut di pinggul. Ampun deh… mana dalemannya buluk lagi, yang lebih fatal kalau si pemakai itu cewe. Bukannya aku munafik, aku sih seneng-seneng aja dapat tontonan gratis, mending yang ngeliat aku yang notabene masih bisa nahan nafsu, kalau enggak… udah diperkosa bolak-balik sama ahlinya tuh. Aku yakin, tuh orang pasti sudah kehilangan urat kemaluan (maksudnya tak punya malu.red).
Mungkin banyak (ini baru mungkin lho, kayaknya sih enggak) yang mengatakan aku norak, kolot, kuper, de.. el.. el.. terserahlah. Tapi bagiku, ini adalah prinsip bung! Banyak orang yang saling meneriakkan serta mempertahankan prinsip yang dianutnya, tapi hidup dengan prinsip yang dianut itu susah mba, mas. Sebagian orang merasa minder dengan penampilannya, mereka minder bila terlihat tidak cantik atau seksi. Percayalah, kalau ada orang yang mencintaimu karna rupamu yang menawan, maka cinta itu akan luntur seiring lunturnya kecantikan atau ketampananmu. Berlian walaupun habis jatuh ke comberan, harganya masih tetap mahal non. Aku jadi sedih melihat mereka yang malu akan keadaannya, tapi tenang aja hal itu tidak pernah terjadi denganku, mungkin karena sifatku yang over pede… bahkan ada juga orang yang iri denganku, seperti biasa… apa yang menurutku adalah kekuranganku, tapi bagi orang lain itu adalah kelebihan buatnya dan itu cita-citanyai. Be your self…
0 Response to "Kutemukan Diriku Dalam Barbershop"
Posting Komentar